MENJADIKAN HALAMAN PEKARANGAN MENJADI SUMBER PENGHASILAN

MENJADIKAN HALAMAN MENJADI SUMBER PENGHASILAN

Balikpapan dikenal sebagai "Kota Minyak", hal itu karena potensi alamnya yang kaya akan minyak bumi dan gas alam sehingga sejak masa penjajahan Belanda, umumnya warga memilih pekerjaan yang terkait dengan sektor perminyakan.


Kota Balikpapan yang dekat dengan laut serta strategis karena berada pada posisi silang antara Kalimantan Timur bagian selatan, timur dan utara sehingga berkembang menjadi kota dagang.

Kondisi itu menyebabkan warga Balikpapan umumnya bekerja sebagai pegawai pemerintahan, karyawan di sektor perminyakan dan pedagang.

Jarang yang berminat membuka usaha di bidang pertanian. Namun, bagi sebagian orang, justru sektor ini bisa menjadi andalan dalam meningkatkan kesejahteraan perekonomian keluarganya.

Sebut saja, Musiran, salah satu petani yang awalnya memanfaatkan lahan kosong yang ia pinjam dari warga lain, yakni biasa dipanggil Pak Lebu di kawasan Manggar Baru, Balikpapan Timur, Kaltim.

Berkat keuletannya menggarap lahan terlantar itu, maka kini ia sudah memiliki lahan 6.000 M2 dengan omzet penjualan sayur-sayuran bagi sejumlah perusahaan katering di Balikpapan mencapai Rp150 juta per bulan.

Musiran adalah warga perantauan asal Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Ia datang ke Kalimantan Timur untuk bekerja pada sebuah perusahaan batu bara terbesar nasional, yakni KPC (Kaltim Prima Coal) pertengahan 1980-an.

Musiran bekerja di Unit Laboratorium di Sangatta, Kutai Timur, 300 km utara Balikpapan.Seperti umumnya pendatang, Musiran muda punya etos kerja luar biasa. 

Menghabiskan waktu di laboratorium memeriksa contoh-contoh batubara biasa dilakoninya hingga malam larut. Pekerjaannya juga rapi dan cepat selesai.

Melihat prestasinya, maka pihak manajemen akan mengirimnya ke Australia untuk mengikuti pendidikan tenaga laboratorium selama enam bulan agar lebih ahli di bidangnya.

Seharusnya, karyawan lain pasti senang mendapat beasiswa ke Negeri Kanguru itu. Namun, bagi Musiran tugas itu sangat berat mengingat istrinya baru melahirkan.

Maka ia menolak tugas ke Australia itu. Tidak cuma itu, Musiran bahkan mundur dari perusahaan dan kembali ke Balikpapan, 1986. Dua tahun ia luntang lantung tidak ada pekerjaan di Balikpapan. Keluarganya hanya hidup dengan uang pesangon dari perusahaan yang pasti terus menipis.

Lahan Kosong

Melihat sebuah lahan terlantar, terpikir olehnya untuk memanfaatkannya sebagai sebuah kegiatan usaha yang menghasilkan. Setelah mendapat ijin dari pemilik, maka ia segera menggarap lahan yang cukup landai dan berpasir itu.

Musiran menanam sawi, bayam, cabai, dan pepaya di bagian depan. Di belakang, ia mendirikan rumah permanen yang dikelilingi halaman rumput yang lapang.


Ia mengaku bahwa meski keturunan petani namun tidak bercita-cita jadi petani akan tetapi perjalanan hidupnya yang menolak tawaran perusahaan ke Australia yang merubah masa depannya.


"Waktu itu tahun 1988, saya sudah tinggal di Manggar ini. Tentu saja saat itu penduduk Balikpapan masih jarang. Ada lahan kosong milik Pak Lebu. Ini tinggal di pusat kota sana dan hanya sekali-sekali kemari periksa tanahnya. Lahannya dibiarkan begitu saja tak diurus," tuturnya.

Melihat lahan itu, maka tanpa ada kompensasi apa-apa, pemilik lahan dengan bermurah hati meminjamkan lahannya selama empat tahun. Musiran kemudian menanam sawi, bayam, kacang panjang, tomat, juga cabai, dan pepaya.

Saat menggarap lahan itu, perekonomian keluarganya dalam kondisi kritis karena uang pesangon perusahaan terus menipis.

Kala itu, bahkan ia tidak mampu membeli pupuk pabrik sehingga ia memanfaatkan kotoran ternak yang banyak di dekat lahan yang ia garaf sebagai pupuk kandang.

Selama satu tahun menjadi petani, nasibnya mulai berubah ketika seorang teman membuka usaha katering dan membutuhkan sayuran segar dalam jumlah cukup banyak.

"Alhamdulillah. Waktu itu 1989, dari memasok katering saja, sudah dapat Rp20 juta per bulan," kata Musiran.
Setelah itu, usahanya di bidang pertanian ini terus berkembang sehingga ia membeli lahan selluas 6.000 meter per segi pada 1993. Saat itu, harga tanah masih murah, yakni hanya Rp5.000-Rp10.000 per M2.

Sejak 1993 itu, usahanya tidak sekadar melayani perusahaan katering kecil namun sudah merambah ke usaha katering besar yang melayani perusahaan Migas di Balikpapan 
sehingga omzetnya dalam memasok berbagai jenis sayuran itu sudah mencapai Rp150 juta per bulan.

Kini, di Balikpapan, bukan hanya Musiran yang sukses memanfaatkan lahan pekarangan untuk bertanam sayuran namuun sejumlah warga juga melakukan usaha yang sama.
Petani lain rata-rata memiliki lahan dua hektar sudah bisa memanfaatkannya. Sebagian lahan untuk rumah dan sebagian lahan lahan pekarangan itu untuk bertanam berbagai jenis sayuran.

Pembeli tetap sayuran dari pekarangan keluarga itu kini bukan hanya perusahaan katering namun juga oleh pengelola hotel, rumah makan dan restoran di "Kota Minyak" Balikpapan.

Ternyata untuk mendapatkan rezeki, tidak mesti harus bekerja jauh dari rumah namun bisa juga halaman pekarangan rumah dapat memberi "berkah" seperti dipelopori oleh Musiran.
Redaktur: Heri Ruslan - ROL

Previous
Next Post »